Kamis, 08 Maret 2018

Wanita : Sosok Perkasa Berparas Jelita (1)


Pengalaman menggiring kerbau rawa bersama wanita hebat
di Danau Panggang, Amuntai, Kalimantan Selatan


Hukum Kodrat

Kali ini jemariku akan berkisah seputar pengalaman berbagi tawa, canda, haru, hingga peluh bersama para wanita hebat, yang tentunya versi Beeseeksejarah. 

"Pak tani mencangkul, ibu tani menanam padi di sawah."

Sudah tentu yang pernah mengenyam bangku Sekolah Dasar tak lagi asing dengan kalimat diatas.
Seolah telah mendarah daging dalam budaya pendidikan. 
Rumus paten yang tak mampu diganggu gugat, bahkan oleh jaksa agung sekalipun.

Dalam kehidupan ini, beberapa orang gemar mengkategorikan sebuah tugas berdasarkan gender. Contoh kecil beberapa tugas ringan di rumah seperti memasak, mencuci dan membersihkan peralatan, serta menyeterika merupakan tanggung jawab wanita. Sedangkan bagian para pria adalah mengerjakan hal yang secara harfiah dipandang berat seperti mengangkat galon air mineral, tabung gas atau membetulkan bagian rumah yang rusak. 

Apakah kamu termasuk salah satunya? Kalau iya, SAH SAH SAJA.

Namun kenyataannya, tak semua pekerjaan berat hanya dilakukan oleh pria, wanita pun mampu mengambil alih. Salah satunya dapat ditemui di wilayah bagian tengah Indonesia.


Langkah Bee di Amuntai, Kalimantan Selatan

Mendaratkan raga di Amuntai, sejauh mata memandang yang terlihat adalah lahan rawa. Rupanya pemandangan ini sejalan dengan fakta, bahwa setengah luas wilayah dari ibukota Kabupaten Hulu Sungai Utara ini didominasi rawa. 

Selamat datang di istana para reptil.
Buang rasa segan, tepis segala ketakutan.
Ya, karena pikirmu, pasti ada kawanan predator yang hilir mudik disekitar rawa, bukan?
Ah! Terlalu jauh imajinasimu bermain.
Maka ada baiknya mendekatlah di bodi perahu yang siap menggiringku menerjang rekah fajar, lintasi Danau Panggang.

Sang pengemudi, menjalankan perahunya hanya bermodal sebatang bambu.
Dengan posisi berdiri, bambu dikayuh. Ya, selayaknya dayung. Beliau cukup lincah melakukannya seorang diri.
Lalu dimana gerangan keberadaanku? Dibalik kamera GoPro.
Ya, layaknya pengunjung yang pertama kali menginjakkan bumi Amuntai, sudah pasti momen ber-swafoto dan video tak akan terlewatkan. Apalagi, sesungguhnya perjalanan bertabur paras permai ini terlalu sukar untuk disia-siakan.


Penggiring Kerbau Itu Wanita

Tak terasa 1 jam berlalu. 
Perahu jukung bersandar tepat di sisi kandang kerbau.
Namun bukan kawanan kerbau yang membuatku sejenak terhenyak, tapi… sosok yang membawaku melintasi danau sepanjang 20 km ini. Beliau rupanya adalah seorang wanita paruh baya. 
Ah! mengapa begitu telat kusadari?
Tapi bagaimana mungkin menyadarinya jika sedari awal tubuhnya berlapiskan baju longgar dan jaket kulit khas kaum hawa. Kakinya beralaskan sepatu boots, dan entah dimana tadi beliau sembunyikan rambut yang berurai panjang? 

Jika saja suhu tak mencapai 33 derajat. 
Jika saja peluh tak membenamkan tubuhnya dalam gerah, ia mungkin takkan pernah membuka topinya. Membiarkan rambut panjangnya teurai.
Jika saja… ah jika saja diri ini tau lebih awal, pasti bukan stik kamera yang bertengger di jari jemari. Melainkan batang bambu yang akan kugapai.
Namun wanita di depanku ini tetap melempar senyum, pertanda maklum.

Setelah menyampaikan maaf dan berbincang sejenak, akhirnya kami ke kandang untuk menggiring hewan bernama latin Bubalus bubalis ini.
Ya, bukan pria melainkan wanita yang menyebut namanya dengan malu-malu, hingga tak terdengar jelas bahkan nyaris terhapus dari ingatan : “Panggil saja Ras”, dialah aktornya. Aktor penggiring kerbau.
Bu Ras mengajarku untuk tidak melakukan hal yang membuat kawanan kerbau gugup bahkan takut. Karena untuk mencapai rawa, hewan yang selalu menghadap ke arah utara ini harus melewati trek menurun dan cukup licin. Sehingga jika didera gelisah maka keseimbangan akan goyah, dampaknya saat  meluncur tubuh tak segan untuk terperosok. Terguling. Kemudian jatuh.
Beruntung tak satupun yang bernasib demikian.

Lebih dari empat puluh kerbau kami giring menuju rawa. Kadang pasrah terciprat oleh kotoran segar. Tak jarang pula pertahanan fisik diuji saat tersenggol tubuh tegap sang kerbau. 
Ini baru awal. 


Seuntai Bee-sikan Sejarah

Sebelum menggiring kerbau lebih jauh lagi, tidakkah terasa janggal mendapati kandang kerbau di atas rawa? Bukankah kawanan pembajak sawah ini seharusnya tinggal di daratan? di kandang tertutup?
Ternyata, kondisi ini pernah terjadi di Amuntai. Namun keterbatasan lahan mendorong warga Amuntai memindahkan habitat kerbau ke Rawa.
Tidak jelas kapan persisnya hewan yang akrab dipanggil hadangan ini bermutasi. Dari pengakuan wanita berusia paruh baya ini, hadangan sudah ada sejak ia lahir.

Namun jika ditelaah jauh ke belakang, sumber sejarah mencatat jika kerbau mulai digembalakan di rawa sejak abad ke-14. Hewan memamah biak ini kono dibawa oleh pekerja asal Cina pada masa kejayaan Kerajaan Negara Dipa. 
Dalam perjalanannya, ternyata kerbau rawa cocok dengan keadaan rawa di Hulu Sungai Utara, dan mampu berkembang biak dengan pesat. Bahkan oleh warga setempat, hadangan dijadikan tolak ukur status sosial seseorang. Harga jualnya pun kian melambung tinggi. Untuk kerbau kualitas bisa bernilai sampai 15 juta rupiah per-ekornya.

Sayangnya, kini kejayaan hadangan kian memudar. Harga kerbau rawa saat ini merosot tajam hingga bertengger di angka 6 juta rupiah per-ekornya.
Salah satu penyebabnya adalah menipisnya stok pakan di alam. Bobot hadangan pun ikut menipis.


Tak Kenal Keluh dalam Peluh

Kembali menaiki perahu jukung, kami menggiring kerbau mencari makan. Kali ini Bu Ras tidak sendiri mengayuh perahu. Terhimpit terik mentari, membuat ragaku justru semakin bergairah mengayuh jukung.
Saat pandangan mudah kuarahkan pada kawanan kerbau, kudapati mereka berpencar begitu jauh.
Ya ya ya, kini kubuktikan sendiri, betapa sulitnya kawanan hadangan ini mencukupi kebutuhan pangan mereka. Hingga mereka harus berpacu dengan waktu, bersaing dengan kawan, melintasi rawa setinggi 1 meter demi melegakan lapar. 
“Ini rumputnya sudah mulai tumbuh banyak!” kalimat Bu Sam cukup menyingkirkan sedikit keprihatinanku. Sedikit lega.

Kembali menguatkan pegangan pada dayung bambu, kami mulai menyusuri rawa, mengejar ketinggalan.
Disaat kawanan kerbau mulai menghamparkan tubuhnya untuk berkubang, Bu Ras tetap berdiri dengan mata awas. Ya, seolah tak memiliki kata letih pada kamus hidupnya.
Disiplin yang dia tanamkan pada dirinya ini rupanya beralasan. Rentannya pencurian kerbau, membuat tanggung jawabnya makin berlipat ganda. Dan ini ia lakukan sebelum fajar menyingsing hingga berganti rekahan senja. Bahkan saat senja perlahan memudar, senyum wanita ini tetap berpendar. 


Pengalaman yang terlampau berkesan dan menginspirasi ini rupanya menggerakkan jemariku ‘tuk merangkai kata demi kata sebagai gambaran sosok Bu Ras. Meski sosoknya terlalu hebat untuk digambarkan oleh secarik puisi.


Cuitan Bee


Wanita...

Sosok perkasa di balik paras jelita
Sang pejuang, pemberi kehidupan bagi dunia
Tanpa pamrih ia berbakti di antara tiang derita

Ia menangis bukan pertanda lemah
Hanya saja tak kuat luapkan amarah
Semata demi menghindari sesal - rasa bersalah

Sang penjaga rasa
Teduh dalam suka, teguh dalam duka
Sesak dalam pikiran, namun tetap santun dalam kata.


Selamat menjadi sosok wanita inspiratif



Bagi yang penasaran dengan sosok wanita hebat asal Amuntai ini, yuk mari kenali beliau lebih dekat lewat video ini.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Wanita : Sosok Perkasa Berparas Jelita (1)

Pengalaman menggiring kerbau rawa bersama wanita hebat di Danau Panggang,  Amuntai, Kalimantan Selatan Hukum Kodrat Kali ini ...